Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Konsep, Aturan, dan Implikasinya

Dalam lingkup dunia kerja dan pasar tenaga kerja, istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat sebagai PHK adalah istilah yang tidak asing lagi. Namun, PHK sering kali menimbulkan rasa cemas dan kekhawatiran bagi para pekerja. Alasan di balik hal ini sangatlah beralasan, mengingat bahwa keputusan PHK dapat memiliki dampak signifikan pada stabilitas finansial, karir, dan masa depan pekerja yang mengalaminya, serta juga berdampak pada keluarga mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami apa itu PHK, bagaimana aturan yang mengaturnya, dan dampaknya pada berbagai aspek dalam dunia kerja.

Apa Itu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah langkah mengakhiri hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan/majikan karena sebab tertentu yang menyebabkan berakhirnya kewajiban dan hak-hak yang terhubung di antara keduanya. Artinya, untuk melaksanakan PHK, ada suatu dasar atau alasan tertentu yang melandasi langkah ini.

Dalam kerangka peraturan perburuhan, alasannya dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) bersama dengan Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021), dan implementasinya yang tertuang dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Perspektif Definisi dan Konteks

Secara umum, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merujuk pada tindakan pemberi kerja (perusahaan atau majikan) yang menghentikan atau menangguhkan status kerja seorang pekerja, baik itu secara sementara atau permanen. PHK ini dapat terjadi karena alasan tertentu, di luar kinerja aktual karyawan tersebut. Namun, perlu ditekankan bahwa PHK tidak sama dengan pemecatan langsung. Pemecatan biasanya terjadi karena masalah kinerja pekerja itu sendiri, seperti ketidakefisienan, penyalahgunaan jabatan, atau pelanggaran tugas yang dilakukan oleh pekerja.

Awalnya, istilah PHK dimaksudkan untuk merujuk pada penghentian kerja secara sementara, tetapi seiring berjalannya waktu, istilah ini semakin merujuk pada penghentian kerja secara permanen atau kurangnya pekerjaan yang stabil dan berkelanjutan. PHK bisa menjadi hasil dari berbagai situasi, seperti perusahaan yang menutup operasi atau pindah lokasi, perubahan strategis bisnis, penurunan pendapatan, pengenalan otomatisasi, serta praktik offshoring atau outsourcing.

Ragam Alasan PHK dan Dampaknya pada Pekerja dan Ekonomi

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi karena berbagai alasan yang mempengaruhi individu atau kelompok pekerja baik di sektor publik maupun swasta. Umumnya, perusahaan melakukan PHK sebagai bagian dari strategi pengelolaan biaya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham perusahaan. Hal ini terutama terkait dengan pengurangan biaya gaji dan tunjangan pekerja. PHK juga bisa terjadi ketika terjadi perubahan dalam tujuan bisnis, perubahan dalam proses produksi, penurunan pendapatan perusahaan, penerapan teknologi otomatisasi yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia, atau bahkan keputusan untuk melakukan offshoring atau outsourcing untuk menekan biaya produksi.

Penting untuk diingat bahwa PHK tidak hanya memiliki dampak pada pekerja yang langsung terkena, tetapi juga dapat memiliki efek riak yang cukup luas pada ekonomi suatu komunitas atau wilayah. Terutama dalam kasus PHK massal, dampaknya bisa dirasakan dalam bentuk penurunan daya beli masyarakat, penurunan pendapatan pajak bagi pemerintah, dan gangguan pada ekosistem bisnis yang lebih luas.

Regulasi dan Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah fenomena yang kompleks dan terkadang kontroversial dalam dunia kerja. Oleh karena itu, peraturan dan prosedur yang mengaturnya sangat penting untuk memastikan bahwa PHK dilakukan dengan adil dan sesuai dengan hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003) dan UU Cipta Kerja (UU No. 11 tahun 2020) bersama dengan peraturan pelaksananya, seperti Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021, mengatur berbagai aspek terkait PHK.

Bagaimana Regulasi Hukum Mengatur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?

Ketentuan dalam peraturan perburuhan nasional secara mendasar mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dengan menekankan kolaborasi antara pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah untuk mencegah terjadinya PHK (sesuai pasal 151 ayat (1) UU 13/2003 jo. pasal 37 ayat (1) PP 35/2021).

Lebih rinci, PP 35/2021 Bagian V secara khusus merinci tata cara pemutusan hubungan kerja, mencakup:

  • Pasal 36 yang menjabarkan berbagai alasan yang mendasari PHK. Alasan inilah yang menjadi dasar penghitungan hak-hak yang harus diberikan kepada pekerja sebagai akibat dari PHK.
  • Pasal 37 hingga 39 yang menguraikan prosedur PHK mulai dari pemberitahuan PHK hingga pelaksanaannya di perusahaan. Jika kesepakatan tidak tercapai, langkah selanjutnya adalah melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan hukum yang berlaku.
  • Pasal 40 hingga 59 yang mengatur Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja, termasuk uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Perhitungannya berdasarkan dasar atau alasan dari PHK yang dilaksanakan.
See also  GoTo

Alasan-Alasan PHK yang Diperbolehkan dan Dilarang

Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya menguraikan berbagai alasan yang memperbolehkan perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di sisi lain, ada pula alasan-alasan yang dilarang karena dianggap melanggar hak-hak pekerja. Alasan-alasan yang memperbolehkan atau melarang PHK ini perlu diikuti oleh perusahaan untuk memastikan legalitas dan keadilan dalam melakukan PHK.

Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) perlu dilakukan dengan pertimbangan matang. PHK tak boleh bersifat sepihak dan sewenang-wenang. Lebih lanjut, PHK hanya boleh terjadi dengan alasan yang ditentukan dan setelah langkah-langkah untuk mencegahnya telah diambil. Berbagai alasan apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam PHK?

Alasan-alasan Yang Memicu PHK

Pasal 154A ayat (1) dari Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) sejalan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021) dan peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021), pasal 36 menjelaskan sebagai berikut:

Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena:

  1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, dan pekerja/buruh atau pengusaha tidak ingin melanjutkan hubungan kerja.
  2. Perusahaan melakukan efisiensi yang menyebabkan penutupan perusahaan atau tidak, karena perusahaan mengalami kerugian.
  3. Perusahaan tutup karena kerugian berkelanjutan selama 2 tahun.
  4. Perusahaan tutup karena keadaan memaksa (force majeure).
  5. Perusahaan menunda pembayaran utang.
  6. Perusahaan pailit.
  7. Pekerja/buruh mengajukan pemutusan hubungan kerja karena pengusaha melakukan tindakan seperti:
  8. a. Penyiksaan, penghinaan, atau ancaman terhadap pekerja/buruh. b. Meminta atau memerintahkan pekerja/buruh melakukan tindakan melanggar hukum. c. Tidak membayar upah selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. d. Tidak memenuhi kewajiban kepada pekerja/buruh. e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk tugas di luar perjanjian. f. Memberikan pekerjaan berbahaya tidak tercantum dalam perjanjian kerja.
  9. Keputusan lembaga penyelesaian perselisihan industrial menyatakan pengusaha tidak bersalah, tetapi PHK tetap dilakukan.
  10. Pekerja/buruh mengundurkan diri dengan syarat tertentu.
  11. Pekerja/buruh absen selama 5 hari kerja atau lebih tanpa keterangan.
  12. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama setelah mendapat surat peringatan.
  13. Pekerja/buruh tidak bekerja selama 6 bulan karena tahanan akibat tindak pidana.
  14. Pekerja/buruh sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja selama lebih dari 12 bulan.
  15. Pekerja/buruh pensiun atau meninggal.

Ketentuan Dalam Pelarangan PHK Dan Konsekuensinya

Pasal 153 ayat (1) UU Cipta Kerja No. 11/2020 menyatakan pengusaha tak boleh melakukan PHK karena:

  1. Pekerja sakit dan tidak masuk kerja selama kurang dari 12 bulan menurut dokter.
  2. Pekerja menunaikan kewajiban negara sesuai hukum.
  3. Pekerja menjalankan ibadah agama.
  4. Pekerja menikah.
  5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayi.
  6. Pekerja memiliki pertalian darah atau perkawinan dengan pekerja lain di perusahaan.
  7. Pekerja terlibat dalam kegiatan serikat pekerja di luar atau dalam jam kerja, atau berdasarkan aturan perjanjian.
  8. Pekerja melaporkan tindak pidana kejahatan perusahaan.
  9. Diskriminasi berdasarkan paham, agama, politik, suku, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
  10. Pekerja cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit akibat hubungan kerja dengan waktu penyembuhan yang belum pasti.

Bila pengusaha melanggar larangan ini, PHK dianggap tidak sah dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang terkena PHK.

Tata Cara PHK

Peraturan perundang-undangan menekankan agar PHK dihindari. Namun, bila tak terelakkan, PHK harus mengikuti ketentuan (pasal 37 PP 35/2021):

  • Pengusaha harus memberi tahu pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh paling lambat 14 hari kerja sebelum PHK. Pemberitahuan dalam bentuk surat.
  • Dalam masa percobaan, pemberitahuan dilakukan paling lambat 7 hari kerja sebelum PHK.

Tanggapan pekerja terhadap PHK ini dapat diterima atau ditolak, dan terdapat tata cara untuk keduanya (pasal 38 dan 39 PP 35/2021):

  • Bila pekerja menerima PHK, pengusaha melaporkan PHK kepada instansi terkait.
  • Bila pekerja menolak, pekerja harus membuat surat penolakan dan alasan dalam 7 hari kerja setelah menerima pemberitahuan. Selanjutnya, penyelesaian perselisihan hubungan industrial diterapkan sesuai peraturan yang berlaku.
See also  Hak Substitusi

Persoalan Perselisihan PHK

Perselisihan PHK adalah ketidaksepakatan tentang pengakhiran hubungan kerja. Ini bisa terkait penerapan hukum PHK, kompensasi, hak, dan kewajiban. Perselisihan ini diselesaikan dengan perundingan bipartit antara pengusaha, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Bila kesepakatan tak tercapai, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan sesuai Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Alasan PHK yang dibenarkan dan dilarang adalah pokok penting dalam kebijakan ketenagakerjaan. Pengusaha dan pekerja/buruh harus memahami ketentuan ini untuk melindungi hak dan kepentingan mereka, serta untuk menciptakan iklim kerja yang adil dan berkeadilan. Menghormati prosedur dan aturan yang telah ditetapkan memastikan bahwa PHK dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan hukum.

Prosedur Pemberitahuan dan Penyelesaian Perselisihan PHK

Regulasi juga mengatur prosedur pemberitahuan dan penyelesaian perselisihan terkait PHK. Pengusaha diwajibkan memberitahukan niat dan alasan PHK kepada pekerja atau serikat pekerja dengan waktu yang telah ditentukan. Jika pekerja tidak menerima keputusan PHK, ada mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang harus diikuti.

Kompensasi dan Dampak Sosial PHK

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga berhubungan dengan kompensasi yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja yang mengalami PHK. Kompensasi ini meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Besaran kompensasi ini diatur berdasarkan masa kerja dan alasan PHK yang dijatuhkan.

Pengaruh PHK pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil

Penting untuk dicatat bahwa ketentuan mengenai kompensasi PHK berlaku berbeda bagi perusahaan yang tergolong sebagai usaha mikro dan usaha kecil. Usaha mikro dan usaha kecil wajib membayar kompensasi yang sesuai, tetapi besarannya ditentukan melalui kesepakatan antara pengusaha pada usaha mikro dan kecil dengan pekerja.

Bagaimana Jika Pekerja Menolak PHK yang Diajukan oleh Pengusaha?

Jika seorang pekerja menolak keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang telah diumumkan oleh pengusaha, maka pekerja wajib mengajukan surat penolakan beserta alasannya dalam waktu maksimal 7 hari kerja setelah menerima pemberitahuan tertulis mengenai PHK. Setelah itu, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dijalani. Dalam konteks ini, perselisihan yang berkaitan dengan PHK akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai pasal 39 PP 35/2021).

Apabila Pengusaha Tidak Dapat Menghindari PHK, Bagaimana Langkahnya?

Jika Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak dapat dihindari oleh pengusaha, berdasarkan pasal 37 PP 35/2021, pengusaha diwajibkan untuk memberikan pemberitahuan maksud dan alasan PHK kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan. Ini berlaku khusus jika Pekerja/Buruh yang terkena PHK merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Pemberitahuan ini disampaikan dalam bentuk surat pemberitahuan dan diserahkan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum pelaksanaan PHK.

Apabila PHK terjadi dalam masa percobaan, pemberitahuan tersebut disampaikan dalam waktu maksimal 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan PHK.

Apa yang Menyebabkan Berakhirnya Hubungan Kerja?

Pasal 61 UU 13/2003 jo. UU 11/2021 menyebutkan bahwa hubungan kerja dapat berakhir atas beberapa alasan, yaitu:

  1. Pekerja meninggal dunia.
  2. Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir.
  3. Penyelesaian sukses suatu pekerjaan tertentu.
  4. Putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang memiliki kekuatan hukum tetap.
  5. Keadaan atau peristiwa khusus yang tercantum dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang mengakibatkan berakhirnya hubungan kerja.

Lebih lanjut, pasal 154A ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 11/2021 dan pasal 36 PP 35/2021 juga mengatur berbagai alasan yang memungkinkan untuk melakukan atau memperbolehkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Bagaimana PHK Diatur dalam Standar Perburuhan Internasional?

Instrumen hukum perburuhan internasional juga mengakui perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sewenang-wenang. Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, menguraikan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam tindakan PHK:

  1. Keputusan terkait PHK harus diambil dengan penuh pertimbangan, mengingat dampaknya tidak hanya pada pekerja, tetapi juga pada anggota keluarga yang tergantung pada pekerja tersebut. Oleh karena efek sosial dari PHK dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pekerja dan keluarganya, maka prinsip kehati-hatian sangat penting.
  2. Seorang pekerja tidak boleh diberhentikan secara sepihak kecuali terdapat alasan yang sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing negara.

Selain itu, masing-masing negara juga diharapkan mengatur ketentuan PHK yang mencakup prosedur pelaksanaan PHK, alasan yang sah untuk PHK, serta jenis kompensasi yang seharusnya diterima oleh pekerja sesuai dengan alasan PHK yang diberlakukan.

See also  Komite Etik

Kompensasi yang Diperoleh Pekerja saat Terjadi PHK: Jenis-Jenis dan Persyaratan

Ketika situasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi dalam sebuah perusahaan, banyak hal yang perlu diperhatikan, termasuk hak-hak dan kompensasi yang berhak diterima oleh pekerja yang mengalami PHK. Kompensasi tersebut memiliki ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan alasan PHK yang dijatuhkan. Jenis-jenis kompensasi ini adalah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Mari kita jelajahi lebih dalam mengenai jenis-jenis kompensasi ini dan bagaimana persyaratan serta ketentuannya.

1. Uang Pesangon

Uang pesangon adalah bentuk kompensasi yang diberikan kepada pekerja yang mengalami PHK. Besarannya ditentukan berdasarkan masa kerja pekerja di perusahaan. Berikut adalah ketentuan besaran uang pesangon sesuai dengan masa kerja:

  • Masa kerja kurang dari 1 tahun: 1 bulan upah
  • Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun: 2 bulan upah
  • Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun: 3 bulan upah
  • Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun: 4 bulan upah
  • Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun: 5 bulan upah
  • Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun: 6 bulan upah
  • Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun: 7 bulan upah
  • Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun: 8 bulan upah
  • Masa kerja 8 tahun atau lebih: 9 bulan upah

2. Uang Penghargaan Masa Kerja

Uang penghargaan masa kerja adalah kompensasi yang diberikan kepada pekerja berdasarkan masa kerja mereka di perusahaan. Berikut adalah ketentuan besaran uang penghargaan masa kerja sesuai dengan masa kerja:

  • Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun: 2 bulan upah
  • Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun: 3 bulan upah
  • Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun: 4 bulan upah
  • Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun: 5 bulan upah
  • Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun: 6 bulan upah
  • Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun: 7 bulan upah
  • Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun: 8 bulan upah
  • Masa kerja 24 tahun atau lebih: 10 bulan upah

3. Uang Penggantian Hak

Uang penggantian hak adalah kompensasi yang diberikan kepada pekerja untuk menggantikan hak-hak tertentu yang belum diterima atau digunakan selama masa kerja. Ini dapat mencakup:

  • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
  • Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat pekerja diterima bekerja
  • Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama

4. Uang Pisah

Uang pisah adalah kompensasi yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Besaran uang pisah dapat bervariasi tergantung pada perjanjian yang telah ditetapkan.

Penting untuk diingat bahwa setiap jenis kompensasi memiliki persyaratan dan ketentuan khusus yang harus dipenuhi oleh pekerja agar berhak menerimanya. Oleh karena itu, pekerja yang mengalami PHK sebaiknya memahami hak-hak mereka dan memastikan bahwa prosedur yang ditetapkan telah diikuti dengan benar untuk memperoleh kompensasi yang sesuai. Kompensasi ini memberikan perlindungan bagi pekerja yang mengalami PHK, serta meringankan dampak finansial yang mungkin timbul akibat situasi tersebut.

Kesimpulan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah fenomena kompleks yang melibatkan berbagai aspek hukum, ekonomi, dan sosial. Memahami definisi PHK, regulasi yang mengatur, serta dampaknya pada pekerja, perusahaan, dan masyarakat sangatlah penting. Regulasi yang ada bertujuan untuk memastikan bahwa PHK dilakukan dengan adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip perburuhan yang sehat. Oleh karena itu, pengetahuan yang baik tentang PHK dan ketentuannya dapat membantu melindungi hak-hak pekerja, menjaga keseimbangan dalam dunia kerja, dan mengurangi dampak sosial negatif yang mungkin muncul akibat PHK.

Selain membaca blog karir Aikerja, follow juga akun instagram aikerja untuk informasi terbaru seputar lowongan kerja, dan dunia kerja.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja

Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 tentang Pemutusan Hubungan Kerja

Kamus Istilah

Leave a Reply