Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Definisi dan Prosesnya

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah merupakan salah satu bentuk pajak yang diterapkan pada saat terjadi transaksi penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Dalam kata sederhana, PPN adalah jenis pajak yang dikenakan tambahan pada transaksi dan diambil pada saat transaksi dilakukan. Dalam praktiknya, produsen atau penjual yang telah diakui sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) bertanggung jawab untuk mengenakan PPN ini dan mencatatnya dalam faktur pajak elektronik. Kemudian, PPN ini di laporkan setiap bulan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). Meskipun demikian, yang membayar pajak ini adalah pembeli barang atau jasa tersebut.

Apa Itu Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak yang dikenakan pada transaksi jual beli barang dan/atau jasa. Pajak ini dihitung sebagai persentase dari harga jual barang atau jasa dan ditambahkan pada nilai transaksi. Dengan kata lain, PPN merupakan pajak yang dikenakan atas nilai tambah yang dihasilkan di setiap tahapan produksi dan distribusi barang atau jasa sebelum mencapai konsumen akhir. Pajak ini merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah dan digunakan untuk mendanai berbagai program dan proyek pembangunan negara.

Karakteristik Pajak Penambahan Nilai (PPN)

Berikut ini adalah karakteristik pemungutan PPN:

Pemungutan PPN didasarkan pada objek pajak tanpa memperhatikan keadaan subjek pajak. Artinya, pemungutan PPN tidak tergantung pada siapa yang membayar pajak, melainkan pada benda atau jasa yang dikenakan.

Secara ekonomis, beban PPN dapat dialihkan ke pihak lain, namun kewajiban memungut, menyetor, melapor tetap melekat kepada pihak yang menyerahkan barang atau jasa. Dalam hal ini, meskipun pemungutan PPN dapat ditanggung oleh konsumen akhir, pihak yang menjual barang atau jasa tetap bertanggung jawab untuk memungut, menyetor, dan melapor pajak PPN.

Pemungutan PPN dilakukan secara berjenjang mulai dari pabrik hingga konsumen akhir. Setiap tahap dalam rantai distribusi memungut PPN sesuai dengan besaran yang ditetapkan.

Faktur pajak digunakan sebagai bukti pemungutan PPN. Setiap pihak yang memungut PPN diwajibkan untuk menyertakan faktur pajak yang berisi rincian barang atau jasa yang dikenakan PPN.

PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, dan dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan. Hal ini berarti PPN dipungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Misalnya, jika seseorang membeli barang di suatu kota, maka PPN akan dipungut di kota tersebut.

PPN tidak mengalami duplikasi karena terdapat mekanisme pengkreditan pajak masukan. Artinya, pemungut PPN dapat mengkreditkan PPN yang dibayar pada tahap sebelumnya sebagai pajak masukan, sehingga tidak ada kenaikan pajak yang berlebihan.

Ciri Khas Pemungutan PPN

Pemahaman tentang karakteristik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sangat penting dalam konteks perpajakan. Berikut adalah ciri khas yang membedakan PPN dari jenis pajak lain, dengan penjelasan yang disederhanakan.

1. Pajak Objektif

Pemungutan PPN didasarkan pada objek pajak itu sendiri, tanpa memperhatikan keadaan atau identitas Wajib Pajak (WP) sebagai subjek pajak. Ini berarti bahwa PPN dikenakan pada barang atau jasa yang ditransaksikan, independen dari siapa yang melakukan transaksi tersebut.

2. Pajak Tidak Langsung

Meskipun secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain, seperti konsumen akhir, tetapi kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tetap melekat pada pihak yang melakukan penyerahan barang atau jasa. Dalam hal ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) bertindak sebagai pemungut PPN.

3. Pajak Multi Tahap

Pemungutan PPN dilakukan dalam beberapa tahap, dimulai dari pabrikan atau produsen hingga mencapai konsumen akhir. Setiap tahap transaksi penjualan atau penyerahan jasa akan memicu pemungutan PPN sesuai dengan nilai tambah di setiap tahapnya.

4. Penggunaan Faktur Pajak

Pemungutan PPN didokumentasikan menggunakan faktur pajak. Oleh karena itu, PKP yang bertindak sebagai pemungut PPN harus mengeluarkan faktur pajak sebagai bukti bahwa PPN telah dipungut pada transaksi tersebut.

5. Sifat Netral

PPN dikenakan pada konsumsi baik barang maupun jasa. PPN dikenakan berdasarkan prinsip tempat tujuan, di mana PPN dipungut di tempat di mana barang atau jasa dikonsumsi. Ini berarti bahwa lokasi konsumsi menentukan pemungutan PPN.

6. Tidak Terjadi Duplikasi

Sistem PPN memiliki mekanisme yang memungkinkan pengkreditan pajak masukan. Pajak masukan adalah PPN yang dibayarkan oleh PKP saat melakukan pembelian atau memperoleh produk. PPN yang dikenakan pada penjualan kemudian dikurangkan dari pajak masukan, sehingga menghindari duplikasi pemungutan pajak pada tahap selanjutnya.

7. Tarif PPN

PPN dikenakan pada tingkat tarif tertentu. Di Indonesia, PPN dikenakan pada tingkat 10% untuk konsumsi dalam negeri, sementara ekspor dikenakan tarif 0%. Namun, pada ekspor, walaupun tarifnya 0%, tetap diharuskan untuk dilaporkan sebagai bagian dari kewajiban perpajakan.

Ketika memahami ciri khas pemungutan PPN, penting untuk mengenali bahwa PPN memiliki peran utama dalam mengumpulkan penerimaan negara dari sektor konsumsi.

Dasar Pengenaan PPN

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didasarkan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang terdiri dari:

Harga Jual

  • Merupakan nilai uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).
  • Tidak mencakup PPN dan potongan harga yang tercantum dalam Faktur Pajak.
See also  Kiriman Dana

Penggantian

  • Merupakan nilai uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud.
  • Tidak mencakup PPN dan potongan harga yang tercantum dalam Faktur Pajak.
  • Juga termasuk nilai uang yang dibayar oleh Penerima Jasa atas impor JKP atau oleh penerima manfaat dari impor BKP Tidak Berwujud.

Nilai Impor

  • Merupakan nilai uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak (BKP).
  • Tidak mencakup PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Nilai Ekspor

  • Merupakan nilai uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai Lain

Nilai ini diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan hanya digunakan untuk menjaga keadilan dalam situasi-situasi tertentu, yaitu:

  • Ketika harga jual, nilai penggantian, nilai impor, dan nilai ekspor sulit ditentukan.
  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang diperlukan oleh masyarakat banyak.

Jenis-Jenis Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Barang Bebas PPN

Dalam sistem perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki berbagai jenis objek yang dikenai pajak. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPN mengatur jenis-jenis objek yang menjadi dasar pungutan PPN. Di sisi lain, terdapat juga barang-barang yang tergolong sebagai barang bebas PPN yang tidak dikenakan pajak. Mari kita telaah lebih lanjut mengenai kedua aspek ini.

Objek Pajak PPN

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha: Objek ini mencakup penyerahan barang yang dilakukan oleh pengusaha yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam daerah pabean.
  2. Impor Barang Kena Pajak (BKP): Impor barang yang masuk ke dalam daerah pabean akan dikenakan PPN. Barang-barang ini harus melalui proses pemeriksaan dan deklarasi ke dalam negara.
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha: Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha yang telah terdaftar sebagai PKP dalam daerah pabean juga menjadi objek PPN.
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean dalam Daerah Pabean: Pemanfaatan barang seperti lisensi atau hak kekayaan intelektual yang tidak berwujud fisik juga dikenai PPN ketika digunakan di dalam daerah pabean.
  5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari Luar Daerah Pabean dalam Daerah Pabean: Pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean yang digunakan di dalam daerah pabean juga termasuk dalam objek PPN.
  6. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud oleh PKP: PKP yang melakukan ekspor barang kena pajak yang berwujud akan mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.
  7. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud oleh PKP: Ekspor barang kena pajak yang tidak berwujud oleh PKP juga termasuk dalam objek PPN.
  8. Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) oleh PKP: PKP yang melakukan ekspor jasa kena pajak juga masuk dalam objek PPN.

Barang Bebas PPN

  1. Hasil Pertambangan atau Hasil Pengeboran yang Diambil Langsung dari Sumbernya: Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti hasil tambang atau minyak bumi, tergolong sebagai barang bebas PPN.
  2. Kebutuhan Pokok yang Sangat Dibutuhkan oleh Rakyat: Barang-barang yang termasuk dalam kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, dan garam, tidak dikenakan PPN.
  3. Makanan dan Minuman yang Disajikan di Tempat seperti Warung, Hotel, Restoran, dan Sejenisnya: Makanan dan minuman yang disajikan di tempat-tempat seperti warung, hotel, restoran, dan sejenisnya juga termasuk dalam barang bebas PPN.
  4. Uang, Emas Batangan, dan Surat Berharga: Uang tunai, emas batangan, serta surat berharga seperti obligasi dan saham juga tidak dikenakan PPN.

Dengan memahami jenis-jenis objek PPN dan barang bebas PPN, pelaku bisnis dan masyarakat dapat lebih paham mengenai kewajiban serta hak mereka dalam hal perpajakan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki peran penting dalam penerimaan negara dan pengembangan berbagai sektor ekonomi.

Dalam hal barang-barang tersebut, PPN tidak dikenakan karena alasan tertentu, seperti sifat pentingnya barang tersebut dalam kebutuhan masyarakat atau alasan kebijakan pemerintah.

Barang yang Tidak Tergolong dalam Objek PPN (Non-BKP)

Dalam lingkup Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terdapat sejumlah barang yang tidak termasuk dalam objek pemungutan PPN. Berikut adalah daftar barang tersebut, beserta penjelasan yang lebih ringkas:

  1. Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya: Barang yang diperoleh langsung dari sumber pertambangan, penggalian, atau pengeboran tidak dikenai PPN.
  2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak: Berbagai bahan makanan pokok seperti beras, jagung, garam (beryodium maupun tidak), daging segar yang melalui proses tertentu, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran segar tidak dikenai PPN.
  3. Makanan dan minuman di berbagai tempat konsumsi: Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya tidak termasuk dalam objek PPN. Namun, ini tidak berlaku untuk usaha jasa boga atau layanan katering.
  4. Uang, emas batangan, dan surat berharga: Barang berupa uang, emas batangan, saham, dan obligasi tidak dikenai PPN.
  5. Sumber daya alam tertentu: Beberapa sumber daya alam seperti minyak mentah, gas bumi (kecuali elpiji yang siap dikonsumsi), panas bumi, dan berbagai jenis batuan seperti asbes, granit, marmer, fosfat, dan lainnya, tidak termasuk dalam objek PPN.
  6. Logam dan bijih tertentu: Bijih dan logam seperti bijih besi, timah, emas, tembaga, nikel, perak, dan bauksit juga tidak dikenai PPN.
See also  Harga Penutupan

Penting untuk diingat bahwa PPN dikenakan pada transaksi barang dan jasa yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Daftar di atas mengidentifikasi barang-barang yang dikecualikan dari pemungutan PPN sesuai dengan hukum yang berlaku.

Jasa yang Tergolong dalam Objek PPN (JKP)

Jasa Kena Pajak (JKP) merujuk pada setiap bentuk pelayanan yang dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis atau tindakan hukum lainnya. JKP mengakibatkan tersedianya barang, fasilitas, kemudahan, atau hak yang dapat digunakan, termasuk pula jasa yang dihasilkan untuk menciptakan barang berdasarkan pesanan atau petunjuk dari pemesan. JKP ini tunduk pada pemungutan pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).

Mirip dengan cakupan Barang Kena Pajak (BKP), pengaturan mengenai JKP dalam UU PPN juga menggunakan prinsip “negative list”. Ini berarti bahwa pada dasarnya semua jenis jasa termasuk dalam kategori JKP, kecuali dikecualikan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN.

Jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non-JKP)

  1. Jasa Pelayanan Kesehatan Medis
  2. Jasa Pelayanan Sosial
  3. Jasa Pengiriman Surat dengan Perangko
  4. Jasa Keuangan
  5. Jasa Asuransi
  6. Jasa Keagamaan
  7. Jasa Pendidikan
  8. Jasa Kesenian dan Hiburan
  9. Jasa Penyiaran yang Tidak Bersifat Iklan
  10. Jasa Angkutan Umum di Darat, di Air, dan Angkutan Udara Dalam Negeri yang Bersifat Tidak Terpisahkan dari Angkutan Udara Internasional
  11. Jasa Tenaga Kerja

Selain itu, beberapa jenis jasa lainnya yang tidak dikenai PPN meliputi:

  • a. Jasa Perhotelan
  • b. Jasa yang Disediakan oleh Pemerintah untuk Tujuan Pemerintahan Umum
  • c. Jasa Penyediaan Tempat Parkir
  • d. Jasa Telepon Umum dengan Penggunaan Uang Logam
  • e. Jasa Pengiriman Uang dengan Wesel Pos
  • f. Jasa Boga atau Katering

Besaran Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Fasilitas Pembebasan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perpajakan di Indonesia. Besaran tarif PPN ditetapkan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 tahun 2009, yang kemudian mengalami perubahan melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Mari kita simak besaran tarif PPN dan fasilitas pembebasan yang terkait dengan beberapa kategori tertentu.

Besaran Tarif PPN

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 42 tahun 2009 pasal 7, yang telah diubah melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) pada bab IV pasal 7 ayat (1), besaran tarif PPN ditetapkan sebagai berikut:

  1. Tarif PPN 11% (Sepuluh Persen): Besaran tarif PPN yang umumnya berlaku adalah sebesar 11%. Ini berarti bahwa setiap transaksi penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) akan dikenai pajak sebesar 11% dari nilai transaksi tersebut.
  2. Tarif PPN 12% Paling Lambat 1 Januari 2025: Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) juga mengatur bahwa tarif PPN akan mengalami peningkatan menjadi 12% paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Hal ini bertujuan untuk mendukung penerimaan negara dan kebijakan perpajakan yang lebih berkelanjutan.

Perubahan Tarif PPN

Ketentuan mengenai perubahan tarif PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Perubahan tarif PPN harus melalui proses legislasi yang sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.

Fasilitas Pembebasan PPN

Dalam upaya meringankan beban masyarakat dan mendukung kebijakan redistribusi ekonomi, undang-undang baru juga memberikan fasilitas pembebasan PPN untuk beberapa kategori tertentu. Fasilitas ini meliputi:

  1. Barang Kebutuhan Pokok yang Dibutuhkan oleh Masyarakat Banyak: Barang-barang yang termasuk dalam kategori kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, dan garam, mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Hal ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan-bahan pokok dengan harga yang terjangkau.
  2. Jasa Pelayanan Kesehatan Medis: Jasa pelayanan kesehatan medis yang diberikan oleh fasilitas kesehatan juga mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Ini berkontribusi dalam mendukung akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang terjangkau.
  3. Jasa Pendidikan: Fasilitas pembebasan PPN juga diberikan pada jasa pendidikan. Hal ini mendukung akses pendidikan yang lebih luas bagi masyarakat.
  4. Jasa Pelayanan Sosial: Jasa pelayanan sosial yang dilakukan oleh lembaga atau organisasi non-profit juga mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Ini mencakup berbagai program bantuan sosial untuk masyarakat yang membutuhkan.

Besaran tarif PPN dan fasilitas pembebasan yang diatur dalam undang-undang menjadi bagian penting dalam upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan fiskal, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan memberikan perlindungan bagi masyarakat yang lebih lemah ekonominya.

Proses Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Proses pemungutan PPN melibatkan beberapa tahapan yang melibatkan perusahaan atau individu yang terlibat dalam transaksi. Berikut adalah rangkaian proses pemungutan PPN:

  1. Identifikasi Pengusaha Kena Pajak (PKP): Perusahaan atau individu yang memiliki omset atau nilai transaksi tertentu wajib menjadi PKP dan mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak. PKP memiliki kewajiban untuk mengenakan dan menyetor PPN.
  2. Pengenakan PPN: PKP yang menjual barang atau jasa harus mengenakan PPN pada harga jualnya. PPN ini ditambahkan pada harga jual dan menjadi tanggung jawab pembeli untuk membayarnya.
  3. Faktur Pajak Elektronik: Setelah transaksi dilakukan, PKP harus mengeluarkan faktur pajak elektronik yang berisi informasi tentang transaksi, termasuk besarnya PPN yang harus dibayarkan.
  4. Pelaporan Melalui SPT Masa PPN: PKP harus melaporkan PPN yang telah dikenakan dan diambil dari pembeli setiap bulan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). Laporan ini harus diserahkan ke Direktorat Jenderal Pajak.
  5. Pembayaran PPN: Setelah melaporkan PPN melalui SPT Masa PPN, PKP harus membayar jumlah PPN yang tercatat pada laporan tersebut. Pembayaran ini dilakukan ke kas negara melalui bank.
  6. Pemotongan dan Penyetoran: Dalam beberapa kasus, pihak lain yang bukan PKP harus memotong PPN dari pembayaran yang mereka lakukan kepada PKP. Pihak yang memotong PPN ini harus menyetorkan PPN tersebut ke kas negara.
  7. Pembayaran oleh Pembeli: Pembeli barang atau jasa yang telah dikenakan PPN harus membayar PPN ini kepada PKP. PKP kemudian akan menyetorkan PPN tersebut ke kas negara.
See also  Market (Pasar)

Pemungut PPN

Guna mempermudah proses pemungutan PPN dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terhutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan, Pemerintah telah menunjuk pihak khusus untuk melaksanakan tugas ini. Pihak yang ditunjuk meliputi bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Pengusaha Kena Pajak (PKP): Penyetor dan Pelapor PPN

Pengusaha Kena Pajak (PKP) memegang peranan penting dalam sistem perpajakan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PKP adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk menyetor dan melaporkan PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berikut adalah informasi penting mengenai peran PKP dalam penyetoran dan pelaporan PPN.

Waktu Penyetoran dan Pelaporan PPN oleh PKP

Setiap akhir bulan, termasuk tanggal terakhir di bulan tersebut, menjadi batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN oleh PKP. Ini berarti bahwa PKP harus memastikan bahwa PPN yang terutang telah disetor dan dilaporkan sebelum tenggat waktu tersebut.

Kriteria Penetapan Sebagai PKP

Konsep PKP memiliki kriteria tersendiri yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.197/PMK.03/2013. Menurut ketentuan ini, sebuah perusahaan atau individu pengusaha dapat ditetapkan sebagai PKP jika total transaksi penjualan yang dilakukan melampaui jumlah Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.

Namun, jika pengusaha tidak mampu mencapai batasan transaksi sebesar Rp 4,8 miliar, ia memiliki opsi untuk mencabut permohonan pengukuhan sebagai PKP.

Kewajiban PKP dalam Menyetor dan Melaporkan PPN

Dengan menjadi PKP, pengusaha memiliki tanggung jawab untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Dalam proses ini, terdapat dua jenis PPN yang menjadi fokus, yaitu pajak keluaran dan pajak masukan.

  1. Pajak Keluaran: Pajak keluaran merupakan PPN yang wajib dipungut oleh PKP ketika menjual produknya. Ini berarti bahwa setiap kali PKP melakukan transaksi penjualan, ia harus memastikan bahwa PPN yang sesuai telah ditambahkan pada harga produk.
  2. Pajak Masukan: Pajak masukan adalah PPN yang dibayarkan oleh PKP ketika melakukan pembelian atau memperoleh produk. Saat PKP membeli atau memperoleh produk dari pihak lain, PPN yang dibayarnya akan menjadi pajak masukan yang nantinya dapat diakumulasikan.

Pengecualian Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengecualian atas pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) diberikan kepada pengusaha kecil, dengan batasan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Saat ini, batasannya telah diatur dalam PMK 197/PMK.03/2013, yakni pengusaha yang menghasilkan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Namun, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) memberikan fleksibilitas bagi pengusaha kecil ini untuk memenuhi syarat pengukuhan sebagai PKP, yang kemudian diatur lebih detail dalam PMK 40/PMK.03/2010.

Fasilitas Pembebasan PPN

  • Fasilitas atau insentif perpajakan adalah aturan pajak yang diatur khusus, berbeda dari ketentuan pajak umum, untuk Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu.
  • Fasilitas PPN bertujuan mendukung pembangunan nasional dengan memastikan ketersediaan barang-strategis.
  • Ada dua bentuk fasilitas:
    • Fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN.
    • Fasilitas pemungutan PPN tidak dilakukan.
  • Pemerintah memberikan fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN pada impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang memiliki sifat strategis, sebagai langkah untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing.

Kesimpulan

Pengusaha Kena Pajak (PKP) memainkan peran penting dalam sistem perpajakan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PKP memiliki tanggung jawab untuk menyetor dan melaporkan PPN yang terutang sesuai dengan ketentuan. Batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN adalah setiap akhir bulan. Sejak tanggal 1 Juli 2016, setiap PKP di Indonesia diwajibkan membuat e-Faktur atau faktur pajak elektronik sebagai persyaratan sebelum melaporkan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN). Dengan demikian, PKP berperan dalam memastikan penerimaan negara dari PPN sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Selain membaca blog karir Aikerja, follow juga akun instagram aikerja untuk informasi terbaru seputar lowongan kerja, dan dunia kerja.

Kamus Istilah

Leave a Reply