
Review Novel Dua Belas Pasang Mata Karya Sakae Tsuboi
Mengenal Sakae Tsuboi, Penulis Dua Belas Pasang Mata
Sakae Tsuboi adalah seorang penulis terkenal asal Jepang yang lahir pada tanggal 5 Agustus 1899 dan meninggal dunia pada tanggal 23 Juni 1967. Ia berasal dari Pulau Shodo, Distrik Shozu, Prefektur Kagawa, yang terletak dekat dengan Laut Seto. Sejak kecil, Sakae sudah tertarik dengan dunia tulis-menulis dan memiliki bakat dalam bidang sastra.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Sakae bekerja sebagai juru tulis di kantor pos dan kantor desa di Pulau Shodo selama sekitar 10 tahun. Pada tahun 1925, ia menikah dengan seorang penyair bernama Shigeji Tsuboi dan pindah ke Tokyo. Di ibu kota tersebut, Sakae bertemu dengan beberapa penulis novel perempuan terkenal seperti Yuriko Miyamoto dan Ineko Sata, yang menginspirasinya untuk menjadi penulis fiksi.
Selama masa perang, Sakae menulis beberapa novel dengan latar belakang kisah anak-anak. Karya-karyanya ini meraih berbagai penghargaan sastra dan mendapat apresiasi dari masyarakat Jepang. Pada tahun 1952, novelnya yang berjudul “Dua Belas Pasang Mata” atau “Nijushi no Hitomi” menjadi sangat populer dan mendapatkan gelar best seller di Jepang. Karena kepopulerannya, novel ini kemudian diadaptasi menjadi film yang disutradarai oleh Keisuke Kinoshita.
Novel “Dua Belas Pasang Mata” mengisahkan tentang kehidupan seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar di sebuah desa nelayan miskin. Cerita dalam novel ini sungguh mengharukan dan penuh dengan pesan moral yang disampaikan oleh penulisnya. Novel ini memiliki kosakata dan gaya bahasa yang lebih berat dibandingkan dengan novel lokal, sehingga sangat bermanfaat bagi pembaca dalam meningkatkan kemampuan berbahasa.
Sinopsis Novel Dua Belas Pasang Mata
Novel “Dua Belas Pasang Mata” mengisahkan tentang seorang guru bernama Oishi yang baru ditugaskan untuk mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Oishi menjadi guru bagi dua belas anak-anak di desa tersebut. Selama mengajar, Oishi belajar banyak tentang kehidupan sederhana dan rasa kasih sayang yang ditunjukkan oleh murid-muridnya.
Namun, kebahagiaan yang dialami oleh Oishi hanya berlangsung sesaat. Desa tersebut kemudian harus menghadapi kisah pilu akibat perang yang terjadi di kawasan tersebut. Oishi dan murid-muridnya harus beradaptasi dengan perubahan zaman dan menghadapi tantangan hidup yang semakin berat.
Oishi dikenal dengan sebutan Oishi-Koshi dan gaya berpakaiannya dianggap sebagai ‘kebarat-baratan’ oleh penduduk desa. Namun, meskipun ada perbedaan antara Oishi dan penduduk setempat, anak-anak di desa itu tetap tertarik dan penasaran dengan Oishi.
Setiap pagi, Oishi harus menempuh jarak sekitar 8 km dari desa ke sekolah. Ia selalu menggunakan sepeda untuk mempercepat perjalanan, bukan karena ingin terlihat ‘kebarat-baratan’. Ketika anak-anak melihat Oishi melewati jalanan dengan sepeda, mereka langsung berlarian dan mengejarnya.
Selama mengajar, Oishi memberikan julukan kepada setiap muridnya agar mereka saling mengenal satu sama lain. Oishi sangat disukai oleh murid-muridnya, terutama dalam pelajaran musik. Beberapa kali, Oishi juga mengajak muridnya untuk belajar di luar ruangan, seperti di pantai dekat teluk. Cara belajar yang menyenangkan ini membuat murid-murid tidak pernah bosan dan menciptakan suasana baru dalam belajar.
Namun, Oishi terpaksa berhenti mengajar karena mengalami cedera pada kakinya. Meskipun ia beristirahat di rumah selama berbulan-bulan, murid-muridnya tetap merencanakan perjalanan ke Desa Pohon Pinus, tempat tinggal Oishi. Mereka berpikir bahwa desa tersebut sangat dekat, tetapi kenyataannya jaraknya sangat jauh. Anak-anak itu berjalan kaki dengan kakinya yang kecil, mengingat dengan jelas jalanan yang begitu jauh. Ketika mereka tiba di Desa Pohon Pinus, ibu dari Oishi menyuguhkan bakmi kepada mereka dan mereka berfoto bersama.
Bertahun-tahun kemudian, Jepang mengalami masa sulit karena perang. Seluruh desa, termasuk Desa Pohon Pinus dan Desa Tanjung, mengalami depresi. Setiap laki-laki diwajibkan ikut berperang, sehingga banyak perempuan yang kehilangan suami dan anak laki-laki mereka.
Selama perang, penduduk desa menghadapi kekurangan pangan karena ikan sulit ditangkap. Mereka harus mengandalkan roti dan gandum yang mereka tumbuk sendiri. Bahkan, ada orang tua yang menjual anak-anak mereka kepada orang kaya demi mendapatkan uang dan mendapatkan makanan. Penyakit mulai menyebar dan banyak penduduk desa yang meninggal akibat penyakit-penyakit tersebut.
Salah satu murid Oishi juga meninggal dunia akibat penyakit tersebut. Novel ini menggambarkan kekejaman perang dan aksi ketidakmanusiawian terhadap anak-anak, serta menyampaikan pesan anti perang dan pandangan cinta damai dari penulisnya.
Review Novel Dua Belas Pasang Mata
Novel “Dua Belas Pasang Mata” karya Sakae Tsuboi mendapatkan banyak penghargaan dan menjadi best seller di Jepang. Dalam novel ini, Sakae Tsuboi berhasil menggambarkan kehidupan penduduk desa yang terkena dampak perang dengan sangat detail dan emosional.
Kelebihan dari novel ini adalah penggunaan bahasanya yang ringan, sederhana, dan mudah dipahami. Meskipun sebagian besar tokoh dan latar belakang cerita berada di Jepang, hal ini tidak menghalangi pembaca untuk memahami dan terhubung dengan novel ini. Terjemahan novel ini juga dilakukan dengan baik sehingga tidak terasa kaku dan tetap menggambarkan keindahan bahasa Jepang yang khas.
Selain itu, alur cerita novel ini juga terstruktur dengan baik. Sakae Tsuboi mampu menggambarkan suasana dan peristiwa dengan detail, sehingga pembaca dapat merasakan dan terlibat dalam cerita dengan lebih baik. Pesan moral yang terkandung dalam novel ini juga sangat kuat dan mampu membuat pembaca merenungkan arti damai dan pentingnya persahabatan.
Namun, meskipun memiliki banyak kelebihan, novel ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terdapat beberapa rentang waktu yang terlihat tergesa-gesa dan beberapa bagian cerita yang terasa di-‘skip’. Hal ini dapat membuat pembaca kebingungan dan kesulitan mengikuti alur cerita. Selain itu, alur cerita dalam novel ini terkadang terasa lambat dan dapat membuat pembaca sedikit jenuh.
Secara keseluruhan, “Dua Belas Pasang Mata” adalah sebuah novel yang menyentuh dan mampu memberikan gambaran mengenai dampak perang terhadap kehidupan penduduk desa. Novel ini mengajak pembaca untuk merasakan kisah yang mengharukan dan menyampaikan pesan moral yang kuat. Dalam perjalanan membaca novel ini, pembaca juga akan diajak untuk merenungkan tentang pentingnya kedamaian dan arti sejati dari persahabatan.
(606 kata)
Ingin tahu lebih lanjut mengenai novel “Dua Belas Pasang Mata” karya Sakae Tsuboi? Silakan kunjungi situs aikerja.com untuk informasi lebih detail dan untuk mendapatkan novel ini maupun buku-buku lainnya. Di aikerja.com, Anda akan menemukan berbagai pilihan buku berkualitas dan original yang akan memperluas wawasan dan pengetahuan Anda. Selamat membaca!
(640 kata)
Selain membaca blog karir Aikerja, follow juga akun instagram aikerja untuk informasi terbaru seputar lowongan kerja, dan dunia kerja.